Ketika berusia 12 tahun, ia tak menyadari kalau rumah yang berada di samping kediamannya merupakan tempat prostitusi. Lama-kelamaan sosok Mardiana Maya Satrini dewasa menyadarinya dan merasa tergerak. Ia prihatin dengan kondisi kehidupan para pekerja seks komersial (PSK).
Hatinya pun terketuk untuk membantu mereka. Mulai dari kaum miskin, waria, orang dengan HIV AIDS (ODHA), pekerja seks komersial (PSK), hingga korban perdagangan manusia. Tanpa ragu, sosok yang akrab disapa Bunda Maya ini menghampiri lorong-lorong diskotik, warung remang-remang, hingga pelosok desa. Banyak orang menyebutnya sebagai Bunda Kaum Marginal.
Ia membagi pengetahuan pada kaum terpinggirkan dan mengajarkan keterampilan. Meskipun kadang menemui penolakan dari para PSK, tak sedikit juga dari mereka yang merasa terharu dengan sikap hangat Bunda Maya.
"Saya berpikir semua orang punya hak atas hidupnya. Jadi tak pantas rasanya kalau mereka dibeda-bedakan," ujar Bunda Maya saat ditemui di kawasan Thamrin, Jakarta Selatan.
Sudah hampir 32 tahun, ibu empat orang anak ini menjadi aktivis pemberdayaan masyarakat di Singkawang, Kalimantan Barat. Namun baru sekitar 12 tahun ia membuat wadah bagi kaum yang termarginalkan.
Demi meningkatkan taraf hidup mereka, Bunda Maya bersama para relawan memberikan penyuluhan serta pelatihan keterampilan agar mampu hidup mandiri. Wanita yang menggunakan sebagian gaji suaminya yang Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini tak mempedulikan anggapan buruk orang lain.
"Saya memang memiliki keterbatasan, tapi saya tak ingin mereka dipandang sebelah mata. Tak ingin kejadian serupa terulang pada generasi yang ada. Saya ingin terus membantu, khususnya pada kasus human trafficking," ujar Maya.
Walau begitu, aksi sosialnya ini terkadang membuatnya harus menerima tudingan tak menyenangkan. Membantu para pelacur misalnya, ia justru harus menerima tuduhan dari tetangga bahwa dirinya bekerja sebagai seorang PSK.
Keguguran
Lantaran ingin memajukan kesejahteraan taraf hidup kaum marginal, wanita kelahiran Singkawang 21 Januari 1966 ini tak terlalu memikirkan risiko yang harus dihadapinya. Soal omongan tak sedap tentang dirinya nampaknya sudah menjadi santapan sehari-hari.
Ia juga bercerita pernah mengalami kekerasan fisik ketika dirinya mengandung. Saat itu, ia ingin melindungi seorang gadis dari perdagangan manusia. Bunda Maya yang sedang hamil tak gentar menyelamatkan dua orang gadis di pelabuhan Pontianak.
"Ketika ingin merebut anak perempuan itu, saya menariknya sambil melidungi bagian perut dengan tangan. Saat itulah pria (antek-antek) itu membaca gerakan saya seakan mencari kelemahan. Akhirnya mereka memukul bagian perut. Padahal waktu itu saya sedang hamil tiga bulan," ujarnya.
Kedua bocah itu memang terselamatkan, tapi tidak dengan janin yang ada dalam perutnya. Kepala pusing, demam disertai pendarahan menjadi tanda bahwa anak dalam kandungannya meninggal. Bunda Maya pun harus menjalani pembersihan janin atau dikuret.
Belum lagi berbagai pertanyaan kritis dari anak pertamanya soal aktivitasnya. Miris memang, tapi ia berusaha menjelaskan keadaan sebenarnya. Bunda Maya tak mau berhenti untuk berjuang untuk kaum marginal.
Dia merasa bahagia jika melihat wanita bangkit dari keterpurukan dan berhasil. Ada beberapa wanita yang didampinginya keluar dari perdagangan manusia dan lingkaran setan prostitusi. Dengan keterampilan yang dimiliki, salah satu wanita asal Jawa yang pernah dijual ke Singkawang kini telah memiliki usaha, menikah, bahkan telah naik haji.
"Dunia ini sangat kecil untuk sebuah rahasia buruk, tapi luas untuk sebuah kebaikan," pesan Bunda Maya.
sumber : viva.co.id
0 comments:
Post a Comment